Irpaa Rahim/33210627
Perundang-undangan
Ketenagakerjaan
NOMOR 13 TAHUN 2003
Tentang Ketenagakerjaan
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat,
dan harga diri
tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur,
dan merata, baik
materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga
terpenuhi hak-hak
dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh
serta pada saat yang
bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan
dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan. Keterkaitan itu
tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan
sesudah masa kerja
tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah,
dan masyarakat. Untuk
itu, diperlukan pengaturan
yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan
sumber daya
manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Indonesia, upaya perluasan
kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan
hubungan
industrial.
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan
ketenagakerjaan harus
diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan
berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi
manusia
sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 harus
diwujudkan.
Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini merupakan tonggak
utama dalam
menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi di tempat
kerja diharapkan
dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja
dan pekerja/buruh
Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang
berlaku selama ini,
termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan
pekerja pada posisi
yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja
dan sistem
hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan
kepentingan sehingga
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan
tuntutan masa yang
akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah:
− Ordonansi tentang
Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar
Indonesia (Staatsblad tahun 1887 Nomor 8);
− Ordonansi tanggal
17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak
Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
− Ordonansi Tahun
1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
− Ordonansi tanggal
4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
− Ordonansi tentang
Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
− Ordonansi Nomor 9
Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor 8)Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
dan Pasal 33 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan Bersama Antara:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam
bentuk lain.
5. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk
lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan
secara
sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan
kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang
berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan
analisis data yang berbentuk
angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti,
nilai dan makna
tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh, meningkatkan,
serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap, dan etos kerja pada
tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan
kualifikasi jabatan
atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang
mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara
terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara
langsung di bawah
bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman, dalam
proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka
menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja
dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat
memperoleh tenaga
kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa
dengan maksud bekerja di
wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk
dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang
anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat
instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi
dan musyawarah tentang
masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur
organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat
buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau
beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai
hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan
dilaksanakan secara
bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk
menghentikan atau
memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk
menolak pekerja/buruh
seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul
18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundangundangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan
dan/atau keperluan yang
bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja
dalam lingkungan kerja
yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan
menegakkan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri
adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Umum
Pasal
102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial,
pemerintah mempunyai fungsi menetapkan
kebijakan, memberikan pelayanan,
melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruhnya mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga
ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,
mengembangkan keterampilan, dan
keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan
anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan
industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya
mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan
kerja, dan memberikan kesejahteraan
pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan
berkeadilan.
Pasal
103
Hubungan Industrial dilaksanakan
melalui sarana:
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Wajib Lapor
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada
hari-hari libur resmi
apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau
dijalankan secara terus
menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan
pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan pada hari libur
resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang
optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja
yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Kesejahteraan / Jaminan Sosial
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh
jaminan sosial tenaga
kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya, pengusaha wajib
menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilaksanakan
dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan
sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk
koperasi pekerja/buruh dan
usaha-usaha
produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh berupaya
menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha
produktif
sebagaimana dimaksud dalam ayat.
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2),
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sumber : http://www.infokerja-kaltim.com/downlot.php?file=655972UU%20No.%2013%20Tahun%202003%20tentang%20Ketenagakerjaan.pdf
Sumber : http://www.infokerja-kaltim.com/downlot.php?file=655972UU%20No.%2013%20Tahun%202003%20tentang%20Ketenagakerjaan.pdf
No comments:
Post a Comment