Monday, May 7, 2012

Hubungan bilateral Indonesia - China

       Tahun 2012 menandai satu dekade ditandatanganinya forum energi bilateral atau yang lebih dikenal dengan Indonesia-China Energy Forum (ICEF) yang dibentuk pada 24 Maret 2002 di Beijing-China melalui sebuah Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan pemerintah China. Forum ini ditujukan untuk memperkuat dan memperluas kerja sama industri gas alam dan minyak, dan juga untuk menyediakan fondasi yang kuat bagi kerja sama eksplorasi minyak. Hingga saat ini, ICEF telah dilaksanakan sebanyak 4 (empat) kali, yaitu ICEF ke-1 tahun 2002 di Bali, ICEF ke-2 tahun 2006 di Shanghai, ICEF ke-3 tahun 2008 di Jakarta, dan ICEF ke-4 tahun 2010 di Nanning-China. Situs Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM RI) menyebutkan pada penyelenggaraan ICEF ke-3 ditandatangani 8 (delapan) kontrak kerja sama bidang energi dan 10 (sepuluh) MoU antara pihak Indonesia dengan China dengan nilai investasi 8 kontrak tersebut sebesar 35 triliun rupiah. Kini setelah satu dekade forum energi bilateral ini terbentuk, apa yang Indonesia peroleh dari kerja sama ini menjadi menarik untuk dicermati. 
       Sejenak merunut ke belakang, ketika akhirnya Indonesia-China berhasil menormalisasi hubungan pada 1990, setelah dibekukan selama hampir 23 tahun, hubungan di antara kedua negara tidaklah meningkat secara signifikan pada masa awal normalisasi. Kecurigaan dan sensitivitas terus mempengaruhi sikap Indonesia terhadap China. Hal ini tak lain akibat peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965 dan disinyalir keterlibatan China di belakang peristiwa ini. Politik domestik memang sangat mempengaruhi kebiijakan luar negeri Indonesia saat itu. Hingga awal tahun 1998, Indonesia lebih memprioritaskan dimensi ekonomi dari hubungan bilateral dengan China yang terbatas pada perdagangan dan investasi. 
Krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda Indonesia akhirnya berujung pada tumbangnya rejim Orde Baru di bawah Soeharto pada Mei 1998 dan didahului oleh kerusuhan anti etnis China di Indonesia. Sejak 1998 inilah, seiring perubahan rejim dari Orde Baru ke Era Reformasi, cakupan hubungan bilateral di antara kedua negara semakin meluas ke wilayah keamanan dan pertahanan, bahkan energi. Politik domestik Indonesia pada periode ini sudah jauh berbeda dengan periode awal normalisasi dalam memandang China. Pada periode ini China tidak lagi dianggap mengancam secara ideologi. Mereka dihadapkan pada fakta bahwa China telah tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang kuat dan memandang China lebih sebagai sebuah peluang ekonomi.
       Pasca 1997 bukan saja ditandai dengan perluasan cakupan kerjasama, melainkan juga peningkatan posisi China dalam politik luar negeri Indonesia dan etnis China dalam politik domestik. Abdurrahman Wahid, yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999, menunjukkan antusiasme untuk mendekatkan hubungan dengan China dan menjadi negara pertama yang dikunjungi pada awal pemerintahannya.
     Era Presiden Megawati menandai perluasan cakupan kerjasama di bidang energi. Terbukti kini, tiga perusahaan minyak nasional China telah beroperasi di Indonesia. Pertama, China National Petroleum Company (CNPC) yang kehadirannya di Indonesia diwakili oleh anak perusahaannya, PetroChina, yang masuk pertama kali tahun 2002. CNPC melakukan akuisisi terhadap Devon Energy di Indonesia. Tahun 2004 PetroChina memiliki 25% kepemilikan dan hak beroperasi di ladang minyak Sukowati dan kini memiliki beberapa kilang minyak dan gas di Indonesia, seperti di Jabung (Jambi), Salawati (Papua), dan Jawa Timur (Tuban). Kedua, China Petroleum and Chemical Company (Sinopec) yang masuk ke industri migas nasional bulan Juli 2005 dengan ditandatanganinya perjanjian kerja sama proyek eksplorasi minyak di Tuban, Jawa Timur. Kehadiran Sinopec di Indonesia diwakili Sinopec International Petroleum E & P Co., yang bertanggungjawab atas Production Sharing Contract (PSC) di Blok Binjai, Sumatera Utara. Ketiga,  China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) yang pada 28 November 2002 secara resmi membeli saham Repsol YPF di Indonesia dan lahirlah CNOOC South East Sumatera (SES) bekerja sama dengan enam perusahaan energi. CNOOC SES Ltd. menguasai lima ladang minyak Repsol YPF, dari tujuh ladang yang dimilikinya, yang tersebar di lepas pantai utara Jawa Barat, barat daya Sumatera, barat Madura, Poleng, dan Blora (Tirta Mursitama, 2010). 
       Tirta Mursitama dan Maisa Yudono dalam buku Strategi Tiga Naga Ekonomi Politik Industri Minyak Cina di Indonesia (2010) menyebut ketiga perusahaan minyak nasional China ini sebagai tiga naga dengan keunggulannya masing-masing, yaitu sang naga emas (CNPC), sang naga penguasa lautan (CNOOC), dan sang naga pencari energi alternatif (Sinopec). Ketiganya memegang hak pengelolaan blok-blok migas yang memiliki cadangan migas potensial di Indonesia, termasuk ladang gas alam cair (LNG) di Tangguh, Papua, yang hingga kini terus menjadi perdebatan hangat. 
    CNOOC mendapatkan 17 % saham pengelolaan proyek LNG di Tangguh, Papua. Dalam proyek yang ditandatangani pada 26 September 2002 tersebut, Indonesia disyaratkan menyediakan 2,6 juta ton LNG per tahun ke China dan CNOOC diberikan harga 2,40 US$ per million British thermal units (mmbtu) selama 25 tahun, lebih rendah dari harga pasar saat itu. Memang telah dilakukan renegosiasi mengenai harga ini pada 2006 sesuai dengan klausul yang diatur dalam kontrak jual beli di mana Indonesia diperkenankan melakukan price review setiap 4 tahun sekali. Hasilnya, harga gas hanya naik menjadi 3,35 US$ per mmbtu hingga hari ini karena memakai harga flat atau tidak mengikuti harga minyak. Batas harga minyak hanya naik dari 25 US$ menjadi 38 US$ per barrel. Padahal, tahun 2006, harga minyak sudah menembus 70 US$ per barrel (Kompas, 8 September 2008). Kurtubi, Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies, memperkirakan bahwa Indonesia telah kehilangan 4 milyar US$ per tahun dari kontrak dengan perusahaan China ini (The Jakarta Globe, September 1, 2011). 
     Saat ini kita lihat bahwa ekspor Indonesia ke China paling banyak adalah produk industri, diikuti sektor pertambangan, dan sektor pertanian, meskipun pertumbuhan ekspor paling besar selama periode 1999-2009 adalah sektor pertambangan. Hal ini tentu terkait dengan kebutuhan China akan energi yang semakin besar seiring dengan booming perekonomiannya, terutama minyak, dan adanya kerjasama energi antara China dan Indonesia dalam bentuk forum energi yang dibentuk sejak 2002 sebagai payung investasi China di Indonesia dalam bidang energi. Sejak 1993 China telah menjadi importir minyak dan sangat tergantung pada minyak dan gas yang diimpor untuk keperluan industri dan transportasinya. Pada tahun 2003, China bahkan telah melampaui Jepang menjadi konsumen minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (Quinhua Xu, 2007). Sementara Indonesia termasuk negara penghasil minyak terbesar di kawasan Asia Tenggara dan produsen LNG terbesar kedua di dunia setelah Qatar. 
       Bila kita cermati, meskipun Indonesia menjadi tujuan investasi China khususnya dalam bidang energi, tetapi diplomasi ekonomi Indonesia pada sektor ini masih lemah, terbukti dengan kontrak penjualan LNG Tangguh yang menimbulkan kerugian diperkirakan mencapai 4 milyar US$ per tahun. Padahal, Indonesia seharusnya mampu meningkatkan posisi tawarnya karena bila kita menilik ke sejarah hubungan Indonesia-China selama enam dekade, bagaimana pun, pembekuan hubungan diplomatik selama lebih dari dua dekade menjadi pertimbangan yang sensitif, terutama bagi China, dalam perkembangan hubungannya dengan Indonesia. Di sisi lain, secara geopolitik, China nampaknya menyadari bahwa Indonesia merupakan kekuatan ekonomi besar di Asia Tenggara dan memainkan peran kunci untuk stabilitas regional. Asia Tenggara bukan saja menguntungkan secara ekonomi bagi China, yaitu pasar yang menjanjikan mengingat jumlah penduduknya yang besar dan jalur perdagangan, tetapi juga secara politik bagi stabilitas kawasan, yang merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi China. Asia Tenggara juga penting bagi keamanan energi China, bukan hanya sebagai sumber minyak dan gas alam, melainkan juga sebagai jalur transportasi impor minyak dari Timur Tengah dan Afrika. 
       Berkaca pada pengalaman implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) tahun 2010 di mana menimbulkan respon negatif dari masyarakat, terutama kalangan dunia usaha, Pemerintah Indonesia bereaksi dengan mengajukan renegosiasi. Merespon perkembangan tersebut, Kedutaan Besar China berkolaborasi dengan KADIN Indonesia, melakukan dialog antara Madame Zhang Qiyue, Duta Besar China dan komunitas bisnis Indonesia, pada 18 Maret 2010 untuk mendiskusikan bagaimana China dan Indonesia dapat mencapai sebuah win-win solution daripada memandang ACFTA sebagai sebuah ancaman. China juga mengirim menteri perdagangannya, Chen Deming, ke Indonesia pada 2 April 2010 dan mengadakan 10th Indonesia-China Joint Commission Meeting dengan menteri perdagangan RI, Marie Elka Pangestu, pada 3 April 2010 di Yogyakarta. Meskipun China tetap pada pendiriannya untuk melaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, karena China memang tidak dapat membuat konsesi dengan satu negara mengingat FTA tersebut bukan bersifat bilateral, melainkan multilateral yang melibatkan seluruh anggota ASEAN, namun langkah China mengirimkan pejabat tingkat tingginya ke Indonesia, daripada membiarkan masalah meluas, menunjukkan respek dan sensitivitasnya yang besar terhadap Indonesia (Aimee Dawis, 2010). 
      BP Migas pada tahun 2012 memang akan melakukan perundingan mengenai harga LNG ini dengan CNOOC, meskipun revisi harga ini baru akan berlaku pada tahun depan. Ini menjadi momen penting di tengah carut marut kebijakan energi di Indonesia. Indonesia tergolong kaya akan sumber minyak dan gas alam, namun harus menghadapi carut marut kondisi kebutuhan energinya saat ini di mana rakyat bereaksi keras terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah mampu mengantisipasi sejak lama dengan sumber energi alternatif. Namun, kebijakan energi nasional saat ini lebih banyak bertumpu pada energi yang berasal dari fosil, termasuk BBM. Sementara, rancangan kebijakan energi nasional jangka panjang baru dibahas dalam Sidang Paripurna ke-1 Dewan Energi Nasional (DEN) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Maret 2012 (Kompas, 7 Maret 2012). 
         LNG merupakan salah satu sumber energi alternatif penting bagi kebutuhan domestik Indonesia saat ini dan di masa depan, yang pengelolaannya harus dipikirkan dengan matang. Keberadaan forum energi bilateral dengan China ini harus mampu mendatangkan manfaat bagi Indonesia, termasuk merundingkan persoalan penjualan LNG ini secara adil. Tentu syaratnya terletak pada kemampuan diplomasi Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia harus mampu memperkuat diplomasi ekonominya agar negara tidak dirugikan lagi dan tetap berdaulat atas sumber energinya. Bagaimanapun China berkepentingan menjamin suplai energinya dari Indonesia.

WESEL DAGANG

Wesel dangang adalah wesel yang ditarik oleh penjual, yang diterima oleh pembeli (trade acceptance).
Pengertian Surat Wesel, menurut beberapa ahli:
1). K.ST. Pamoentjak dan Achmad Ichsan. Wesel adalah surat perintah dari seseorang yang minta dibayarkan kepada seseorang lain sejumlah yang tersebut dalam surat perintah itu.
2). Abdulkadir Muhammad. Surat wesel adalah surat yang memuat kata wesel, yang diterbitkan pada tanggal dan tempat tertentu, dengan mana penerbit memerintahkan tanpa syarat kepada tersangkut untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang atau penggantinya, pada tanggal dan tempat tertentu.
3). H.M.N. Purwosutjito. Surat wesel adalah ”Syarat yang memuat kata ”wesel” di dalamnya, ditanggali dan di tandatangani di suatu tempat, dalam mana penerbitannya memberi perintah tidak bersyata kepada tersangkut untuk membayar sejumlah uang pada hari bayar kepada orang yang ditunjuk oleh penerbit atau penggantinya di suatu tempat tertentu”.Dalam perundang-undangan tidak terdapat perumusan atau definisi tentang surat wesel. Tetapi dalam Pasal 100 KUHD dimuat syarat-syarat formal sepucuk surat wesel.
Dasar hukum wesel diatur dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 173 KUH Dagang, yang menentukan syarat formal bagi suatu wesel. Di dalam KUH Dagang tidak ditemukan definisi wesel, tersirat dalam Pasal 100 KUH Dagang pada persyaratan formal wesel.
Personil Wesel
Dalam hukum wesel, dikenal beberapa personil wesel, yaitu orang-orang yang terlibat dalam lalu lintas pembayaran dengan surat wesel.
  1. Penerbit, adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda trekker, bahasa Inggrisnya drawee, yaitu orang yang mengeluarkan surat wesel.
  2. Tersangkut, adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda betrokkene, yaitu orang diberi perintah tanpa syarat untuk membayar.
  3. Akseptan, adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda acceptant, bahasa Inggrisnya acceptor, yaitu tersangkut yang telah menyetujui untuk membayar surat wesel pada hari bayar, dengan memberikan tanga tangannya.
  4. Pemegang Pertama. Adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda nomor, bahasa Inggrisnya holder, yaitu orang yang menerima surat wesel pertama kali dari penerbit.
  5. Pengganti, adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda geendosseerde, bahasa Inggrisnya indorsee, yaitu orang yang menerima peralihan surat wesel dari pemegang sebelumnya.
  6. Endosan, berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda endosant, bahasa Inggrisnya indorser, yaitu orang yang memperalihkan surat wesel kepada pemegang berikutnya.

Syarat-Syarat Formal Surat Wesel
Suatu surat wesel harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, yang disebut syarat-syarat formal. Menurut ketentuan pasal 100 KUHD, setiap surat wesel harus memuat syarat-syarat formal sebagai berikut:
  1. istilah “wesel” harus dimuat dalam teksnya sendiri dan disebutkan dalam bahasa surat itu ditulis.
  2. Perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
  3. Nama orang yang harus membayarnya (tersangkut).
  4. Penetapan hari bayar (hari jatuh).
  5. Penetapan tempat di mana pembayaran harus dilakukan.
  6. Nama orang kepada siapa atau penggantinya pembayaran harus dilakukan.
  7. Tanggal dan tempat surat wesel diterbitkan.
  8. Tanda tangan orang yang menerbitkan.
Apabila surat wesel tidak memuat salah satu dari syarat-syarat formal tersebut, surat itu tidak dapat diperlakukan sebagai surat wesel menurut undangundang, kecuali dalam hal-hal berikut ini:
  1. Surat wesel yang tidak menetapkan hari bayarnya, dianggap harus dibayar pada hari diperlihatkan (op zicht).
  2. Jika tidak ada penentapan khusus, maka tempat yang ditulis di samping nama tersangkut, dianggap sebagai tempat pembayaran dan tempat di mana tersangkut berdomisili.
  3. Surat wesel yang tidak menerangkan tempat diterbitkan, dianggap ditandatangani di tempat yang tertulis di samping nama penerbit.
Contoh surat wesel :


TUGAS LETTER OF CREDIT

Latter of credit


    Secara singkat, letter of credit dapat disebut sebagai suatu surat perjanjian pembayaran (promise of pay) dari suatu pihak kepada pihak lainnya ketika suatu kejadian terjadi (when a certain event happens). Umumnya, transaksi menggunakan letter of credit menggunakan pihak pembeli dan penjual, dengan diperantarakan oleh bank (dalam praktek pembayaran).
Letter of credit dikenal sebagai “surat pembayaran bersyarat” (conditional), artinya perlu terjadi suatu pemenuhan kondisi (requirements that need to be fulfilled) sampai pembayaran tersebut dapat dilakukan.
PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT
Ada beberapa pihak yang secara langsung terlibat dalam transaksi menggunakan letter of credit. Pihak-pihak tersebut, yaitu:
Importir (Pembeli)
Importir, atau pihak pembeli, merupakan pihak yang mengeluarkan letter of credit, maksudnya, mengeluarkan perjanjian untuk membayar sejumlah uang kepada pihak eksportir (penjual), ketika seluruh tanggung jawabnya telah dipenuhi. Umumnya, harus ada jaminan terhadap kredibilitas pihak importir, untuk menghindari kaburnya pembeli dari tanggung jawab.
Eksportir (Penjual)
Eksportir, atau pihak penjual, adalah tujuan dari terbitnya letter of credit, maksudnya, pihak eksportir akan menerima pembayaran melalui letter of credit tersebut ketika seluruh tanggung jawabnya telah diselesaikan. Ketika akan mengklaim pembayaran melalui letter of credit tersebut, pihak eksportir harus mampu menunjukkan semua dokumen yang dipersyaratkan.
Bank penerbit (Bank pembuka/opening bank/issuing bank/importer’s bank)
Bank ini terdapat di negara importir, dan menerbitkan letter of kredit, yang akan menjadi perjanjian bayar kepada bank penerima.
Bank penerus (Advising bank/seller’s bank/correspondent bank)
Bank ini melakukan penegasan (confirming), terhadap keaslian dan kelengkapan dokumen letter of credit. Bank ini secara umum bertugas menginformasikan kepada pihak penjual bahwa ada letter of credit yang ditunjukkan pada pihak penjual, dan telah diperiksa keasliannya.
Bank pembayar (paying bank)
Bank ini terdapat di negara eksportir, di mana disebutkan dalam letter of credit sebagai pihak yang akan melakukan pembayaran kepada pihak eksportir (sering disebut “beneficiary”), jika persyaratannya telah dipenuhi seluruhnya.
Bank negosiasi (negotiating bank)
Bank yang menyetujui pembelian wesel draft dari eksportir.
Bank pengganti (reimbursing bank)
Suatu bank yang sifatnya netral jika antara bank eksportir dan bank importir tidak memiliki hubungan rekening untuk menyelesaikan proses pembayaran.


 
 
















2.Issuing Bank mendebet rekening Applicant untuk deposit margin
3.  Issuing membuka L/C dan mengirim berita kepada korespondennya di negara
eksportir, disertai dengan no.bank.
4. Advising Bank sebagai bank penerima akan memeriksa kebenaran test key (kalau
pembukan L/C dengan Telex/Fax) dan memeriksa tanda tangan pada L/C (kalau L/C
dibuka dengan mail). Selain itu untuk kadang-kadang bank penerima meminta
company profile dan annual report dari perusahaan importir. Advising bank tidak
jarang juga berperan sebagai negotiating bank.
5. Advising Bank mengadviskan L/C kepada Beneficiary
6. Beneficiary (eksportir) mengirimkan barang melalui Maskapai Perkapalan dengan
instruksi pada Shipping Order supaya consignee dicantumkan Negotiating Bank
7. Eksportir melengkapi dokumen lainnya yang disyaratkan dalam L/C, kemudian
menyerahkannya kepada Negotiating Bank
8. Negotiating Bank mengirimkan dokumen kepada Issuing Bank, dengan pembayaran
kepada eksportir sesuai avaibility dari pada L/C
9. Issuing memberitahukan tibanya dokumen kepada Applicant (importir) dan
melakukan perhitungan kekurangan pembayaran L/C
10. Issuing mendebet rekening applicant atas kekurangan di atas (9)
11. Issuing menyerahkan shipping dokumen kepada importir
12. Reimbursing Bank mendebet rekening issuing bank atas klaim dari negotiating bank
13. Reimbursing Bank mengkredit rekening Negotiating Bank