Tahun 2012 menandai satu dekade ditandatanganinya forum energi bilateral atau yang lebih dikenal dengan Indonesia-China Energy Forum (ICEF) yang dibentuk pada 24 Maret 2002 di Beijing-China melalui sebuah Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan pemerintah China. Forum
ini ditujukan untuk memperkuat dan memperluas kerja sama industri gas
alam dan minyak, dan juga untuk menyediakan fondasi yang kuat bagi kerja
sama eksplorasi minyak. Hingga saat ini, ICEF telah dilaksanakan
sebanyak 4 (empat) kali, yaitu ICEF ke-1 tahun 2002 di Bali, ICEF ke-2
tahun 2006 di Shanghai, ICEF ke-3 tahun 2008 di Jakarta, dan ICEF ke-4
tahun 2010 di Nanning-China. Situs Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia (ESDM RI) menyebutkan pada penyelenggaraan
ICEF ke-3 ditandatangani 8 (delapan) kontrak kerja sama bidang energi
dan 10 (sepuluh) MoU antara pihak Indonesia dengan China dengan nilai
investasi 8 kontrak tersebut sebesar 35 triliun rupiah. Kini setelah
satu dekade forum energi bilateral ini terbentuk, apa yang Indonesia
peroleh dari kerja sama ini menjadi menarik untuk dicermati.
Sejenak
merunut ke belakang, ketika akhirnya Indonesia-China berhasil
menormalisasi hubungan pada 1990, setelah dibekukan selama hampir 23
tahun, hubungan di antara kedua negara tidaklah meningkat secara
signifikan pada masa awal normalisasi. Kecurigaan dan sensitivitas terus
mempengaruhi sikap Indonesia terhadap China. Hal ini tak lain akibat
peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965
dan disinyalir keterlibatan China di belakang peristiwa ini. Politik
domestik memang sangat mempengaruhi kebiijakan luar negeri Indonesia
saat itu. Hingga awal tahun 1998, Indonesia lebih memprioritaskan
dimensi ekonomi dari hubungan bilateral dengan China yang terbatas pada
perdagangan dan investasi.
Krisis
ekonomi tahun 1997 yang melanda Indonesia akhirnya berujung pada
tumbangnya rejim Orde Baru di bawah Soeharto pada Mei 1998 dan didahului
oleh kerusuhan anti etnis China di Indonesia. Sejak 1998 inilah,
seiring perubahan rejim dari Orde Baru ke Era Reformasi, cakupan
hubungan bilateral di antara kedua negara semakin meluas ke wilayah
keamanan dan pertahanan, bahkan energi. Politik
domestik Indonesia pada periode ini sudah jauh berbeda dengan periode
awal normalisasi dalam memandang China. Pada periode ini China tidak
lagi dianggap mengancam secara ideologi. Mereka dihadapkan pada fakta
bahwa China telah tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang kuat dan
memandang China lebih sebagai sebuah peluang ekonomi.
Pasca
1997 bukan saja ditandai dengan perluasan cakupan kerjasama, melainkan
juga peningkatan posisi China dalam politik luar negeri Indonesia dan
etnis China dalam politik domestik. Abdurrahman Wahid, yang terpilih
sebagai presiden pada Oktober 1999, menunjukkan antusiasme untuk
mendekatkan hubungan dengan China dan menjadi negara pertama yang
dikunjungi pada awal pemerintahannya.
Era
Presiden Megawati menandai perluasan cakupan kerjasama di bidang
energi. Terbukti kini, tiga perusahaan minyak nasional China telah
beroperasi di Indonesia. Pertama, China National Petroleum Company
(CNPC) yang kehadirannya di Indonesia diwakili oleh anak perusahaannya,
PetroChina, yang masuk pertama kali tahun 2002. CNPC melakukan akuisisi
terhadap Devon Energy di Indonesia. Tahun 2004 PetroChina memiliki 25%
kepemilikan dan hak beroperasi di ladang minyak Sukowati dan kini
memiliki beberapa kilang minyak dan gas di Indonesia, seperti di Jabung
(Jambi), Salawati (Papua), dan Jawa Timur (Tuban). Kedua, China Petroleum and Chemical Company
(Sinopec) yang masuk ke industri migas nasional bulan Juli 2005 dengan
ditandatanganinya perjanjian kerja sama proyek eksplorasi minyak di
Tuban, Jawa Timur. Kehadiran Sinopec di Indonesia diwakili Sinopec
International Petroleum E & P Co., yang bertanggungjawab atas Production Sharing Contract (PSC) di Blok Binjai, Sumatera Utara. Ketiga, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) yang pada 28 November 2002 secara resmi membeli saham Repsol YPF di Indonesia dan lahirlah CNOOC South East Sumatera
(SES) bekerja sama dengan enam perusahaan energi. CNOOC SES Ltd.
menguasai lima ladang minyak Repsol YPF, dari tujuh ladang yang
dimilikinya, yang tersebar di lepas pantai utara Jawa Barat, barat daya
Sumatera, barat Madura, Poleng, dan Blora (Tirta Mursitama, 2010).
Tirta Mursitama dan Maisa Yudono dalam buku Strategi Tiga Naga Ekonomi Politik Industri Minyak Cina di Indonesia
(2010) menyebut ketiga perusahaan minyak nasional China ini sebagai
tiga naga dengan keunggulannya masing-masing, yaitu sang naga emas
(CNPC), sang naga penguasa lautan (CNOOC), dan sang naga pencari energi
alternatif (Sinopec). Ketiganya memegang hak pengelolaan blok-blok migas
yang memiliki cadangan migas potensial di Indonesia, termasuk ladang
gas alam cair (LNG) di Tangguh, Papua, yang hingga kini terus menjadi
perdebatan hangat.
CNOOC
mendapatkan 17 % saham pengelolaan proyek LNG di Tangguh, Papua. Dalam
proyek yang ditandatangani pada 26 September 2002 tersebut, Indonesia
disyaratkan menyediakan 2,6 juta ton LNG per tahun ke China dan CNOOC
diberikan harga 2,40 US$ per million British thermal units
(mmbtu) selama 25 tahun, lebih rendah dari harga pasar saat itu. Memang
telah dilakukan renegosiasi mengenai harga ini pada 2006 sesuai dengan
klausul yang diatur dalam kontrak jual beli di mana Indonesia
diperkenankan melakukan price review setiap 4 tahun sekali. Hasilnya, harga gas hanya naik menjadi 3,35 US$ per mmbtu hingga hari ini karena memakai harga flat
atau tidak mengikuti harga minyak. Batas harga minyak hanya naik dari
25 US$ menjadi 38 US$ per barrel. Padahal, tahun 2006, harga minyak
sudah menembus 70 US$ per barrel (Kompas, 8 September 2008). Kurtubi,
Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies, memperkirakan
bahwa Indonesia telah kehilangan 4 milyar US$ per tahun dari kontrak
dengan perusahaan China ini (The Jakarta Globe, September 1, 2011).
Saat ini kita lihat bahwa ekspor
Indonesia ke China paling banyak adalah produk industri, diikuti sektor
pertambangan, dan sektor pertanian, meskipun pertumbuhan ekspor paling
besar selama periode 1999-2009 adalah sektor pertambangan. Hal ini tentu
terkait dengan kebutuhan China akan energi yang semakin besar seiring
dengan booming perekonomiannya, terutama minyak, dan adanya
kerjasama energi antara China dan Indonesia dalam bentuk forum energi
yang dibentuk sejak 2002 sebagai payung investasi China di Indonesia
dalam bidang energi. Sejak 1993 China telah menjadi importir minyak dan
sangat tergantung pada minyak dan gas yang diimpor untuk keperluan
industri dan transportasinya. Pada tahun 2003, China bahkan telah
melampaui Jepang menjadi konsumen minyak terbesar kedua di dunia setelah
Amerika Serikat (Quinhua Xu, 2007). Sementara Indonesia termasuk negara
penghasil minyak terbesar di kawasan Asia Tenggara dan produsen LNG
terbesar kedua di dunia setelah Qatar.
Bila kita cermati, meskipun
Indonesia menjadi tujuan investasi China khususnya dalam bidang energi,
tetapi diplomasi ekonomi Indonesia pada sektor ini masih lemah,
terbukti dengan kontrak penjualan LNG Tangguh yang menimbulkan kerugian
diperkirakan mencapai 4 milyar US$ per tahun. Padahal, Indonesia
seharusnya mampu meningkatkan posisi tawarnya karena bila kita menilik
ke sejarah hubungan Indonesia-China selama enam dekade, bagaimana pun,
pembekuan hubungan diplomatik selama lebih dari dua dekade menjadi
pertimbangan yang sensitif, terutama bagi China, dalam perkembangan
hubungannya dengan Indonesia. Di sisi lain, secara geopolitik, China
nampaknya menyadari bahwa Indonesia merupakan kekuatan ekonomi besar di
Asia Tenggara dan memainkan peran kunci untuk stabilitas regional. Asia
Tenggara bukan saja menguntungkan secara ekonomi bagi China, yaitu pasar
yang menjanjikan mengingat jumlah penduduknya yang besar dan jalur
perdagangan, tetapi juga secara politik bagi stabilitas kawasan, yang
merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi China. Asia Tenggara
juga penting bagi keamanan energi China, bukan hanya sebagai sumber
minyak dan gas alam, melainkan juga sebagai jalur transportasi impor
minyak dari Timur Tengah dan Afrika.
Berkaca pada pengalaman implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA) tahun 2010 di mana menimbulkan respon negatif dari masyarakat,
terutama kalangan dunia usaha, Pemerintah Indonesia bereaksi dengan
mengajukan renegosiasi. Merespon perkembangan tersebut, Kedutaan Besar
China berkolaborasi dengan KADIN Indonesia, melakukan dialog antara
Madame Zhang Qiyue, Duta Besar China dan komunitas bisnis Indonesia,
pada 18 Maret 2010 untuk mendiskusikan bagaimana China dan Indonesia
dapat mencapai sebuah win-win solution daripada memandang ACFTA
sebagai sebuah ancaman. China juga mengirim menteri perdagangannya,
Chen Deming, ke Indonesia pada 2 April 2010 dan mengadakan 10th Indonesia-China Joint Commission Meeting dengan
menteri perdagangan RI, Marie Elka Pangestu, pada 3 April 2010 di
Yogyakarta. Meskipun China tetap pada pendiriannya untuk melaksanakan
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, karena China memang tidak
dapat membuat konsesi dengan satu negara mengingat FTA tersebut bukan
bersifat bilateral, melainkan multilateral yang melibatkan seluruh
anggota ASEAN, namun langkah China mengirimkan pejabat tingkat tingginya
ke Indonesia, daripada membiarkan masalah meluas, menunjukkan respek
dan sensitivitasnya yang besar terhadap Indonesia (Aimee Dawis, 2010).
BP
Migas pada tahun 2012 memang akan melakukan perundingan mengenai harga
LNG ini dengan CNOOC, meskipun revisi harga ini baru akan berlaku pada
tahun depan. Ini menjadi momen penting di tengah carut marut kebijakan
energi di Indonesia. Indonesia tergolong kaya akan sumber minyak dan gas
alam, namun harus menghadapi carut marut kondisi kebutuhan energinya
saat ini di mana rakyat bereaksi keras terhadap kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM). Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika
pemerintah mampu mengantisipasi sejak lama dengan sumber energi
alternatif. Namun, kebijakan energi nasional saat ini lebih banyak
bertumpu pada energi yang berasal dari fosil, termasuk BBM. Sementara, rancangan
kebijakan energi nasional jangka panjang baru dibahas dalam Sidang
Paripurna ke-1 Dewan Energi Nasional (DEN) di Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
7 Maret 2012 (Kompas, 7 Maret 2012).
LNG
merupakan salah satu sumber energi alternatif penting bagi kebutuhan
domestik Indonesia saat ini dan di masa depan, yang pengelolaannya harus
dipikirkan dengan matang. Keberadaan forum energi bilateral dengan
China ini harus mampu mendatangkan manfaat bagi Indonesia, termasuk
merundingkan persoalan penjualan LNG ini secara adil. Tentu syaratnya
terletak pada kemampuan diplomasi Indonesia sendiri. Pemerintah
Indonesia harus mampu memperkuat diplomasi ekonominya agar negara tidak
dirugikan lagi dan tetap berdaulat atas sumber energinya. Bagaimanapun
China berkepentingan menjamin suplai energinya dari Indonesia.
No comments:
Post a Comment